**KEDAULATAN DAN KETAHANAN PANGAN DALAM** **PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH** **Oleh :** **Sudirman Mustafa, S.H., M.Hum** **Widyaiswara Madya - Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah** **ABSTRAK** Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau di daerah Khatulistiwa yang terbentang dari Sabang sampai ke Merauke dari Miangas sampai dengan pulau Rote, dengan total luas wilayah setelah deklarasi Juanda 8.193.252 Kilometer Persegi. Jumlah Penduduk Indonesia setelah sensus penduduk tahun 2010 adalah 250 juta jiwa, dengan pemekaran daerah sejumlah 34 Provinsi, 516 Kabupaten dan kota, 65.295 desa, serta dikelilingi oleh gunung baik yang aktif maupun nonaktif sebanyak 177 gunung, serta dengan 232 aliran sungaI baik besar maupun kecil. Bangsa Indonesia juga terkenal keseluruh pelosok dunia dengan kekayaan budaya maupun suku, maka Indonesia yang terbentang diantara dua samudera dan benua tersebut memilki 726 suku bangsa, serta 116 bahasa daerah dan 6 agama, sungguh menakjubkan keindahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang lebih dikenal dan popular Bhineka Tunggal Ika. Kedaulatan dan Ketahanan Pangan bagi Negara seluas Indonesia merupakan suatu keharusan dan jaminan sebagai kunci keamanan Nasiona.Dari perspektif Wawasan Kebangsaan Kedaulatan dan Ketahanan Pangan merupakan kunci pemersatu bangsa yang beraneka ragam etnis, budaya, bahasa, sebagai geopolitik yang sangat strategis, maka dapatlah dikatakan kedaulatan dan ketahanan pangan sebagai national security atau lebih dikenal sebagai keamanan nasional. Indonesia sebagai Negara yang berdaulat yang memiliki daratan territorial yang sangat luas dan subur belum memiliki Kedaulatan dan ketahanan Pangan. Dan hal tersebut merupakan cita-cita mulia bapak Gubernur Ganjar Pranowo di Jawa Tengah. Indonesia masih mengimpor beras walaupun dengan alasan cadangan dalam mengantisipasi penanggulangan bencana alam, kedelai, daging sapi dan masih banyak produk pertanian lainnya, masih didatangkan dari manca negara. **Kata Kunci** :Kedaulatan Pangan, Ketahanan Pangan, Import Pangan, lahan pertanian. **A. LATAR BELAKANG.** Indonesia adalah sebuah Negara besar yang memiliki kedaulatan penuh atas wilayah serta wilayah udaranya setelah dinyatakan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, dan Indonesia memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk mengatur peri kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, membangun rakyat Indonesia seutuhnya menuju masyarakat yang sejahtera adil dan makmur. Dalam perspektif Wawasan Kebangsaan sebagai satu kesatuan politik, sosial budaya, ekonomi, dan secara implisit pertahanan dan keamanan bangsa, maka peran kedaulatan dan ketahanan pangan memiliki posisi yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup bangsa. Dengan berkacamata dengan pengalaman perjalanan bidang pertanian kita, ada satu jawaban bahwa Indonesia belum berdaulat pangan atas kelangsungan peri kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera adil dan makmur atau lebih dikenal dikalangan ekonomi food soverignty atau ketahanan pangan food security. Melihat kondisi Jawa Tengah dari aspek geografis sebagian besar daerahnya memungkinkan untuk menjadi lumbung daripada Kedaulatan dan ketahanan Pangan sebagaimana diungkapkan oleh Gubernur Jawa Tangah pada kampanye pilgub bahwa kita tidak hanya sekedar memiliki ketahanan pangan namun harus lebih daripada itu , kita harus memiliki kedaulatan pangan. Jawa Tengah dari aspek pendapatan perkapita masyarakatnya masih sangat rendah, dapat dilihat dari posisi daerah termiskin di Indonesia, maka Provinsi Jawa Tengah menduduki rangking ke 2 di Indonesia sebagai daerah miskin.Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 menyatakan bahwa Kedaulatan Pangan adalah hak Negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat Indonesia dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menentukan system pangan yang selaras dengan kondisi potensi sumber daya alam local, artinya bahwa terwujudnya ketahanan pangan atau food security. Kedaulatan dan ketahanan pangan di Indonesia dipandang dari sudut Negara kepulauan, perairan, gunung-gunung yang tinggi serta aktif, curah hujan yang cukup tinggi ketika musim penghujan, maka potensi terjdinya bencana alam sangat signifikan terjadi di seluruh wilayah tanah air Indonesia yang berdampak kepada kerugian, baik kerugian yang mengancam jiwa penduduk yaitu kematian, kerugian matrial, tidak terpenuhinya rasa aman dalam hidup masyarakat, dan juga mengakibatkan kerugian yang menahun terhadap gangguan jiwa penduduk terhadap traumatis bencana alam seperti tsunami, gempa, banjir, badai dan lain sebagainya. Dengan kondisi geografis Indonesia rawan bencana seperti diatas, maka intensitas bencana alam yang akan terjadi di Indonesia akan semakin tinggi, sehingga memberikan kesiapan kepada masyarakat kesadaran untuk membangun meningkatkan survivalnya, kesadaran sosial dari setiap anggota masyarakat, akan memperkokoh pondamen struktur ikatan sosial yang tinggi dalam menghadapi bencana alam yang sewaktu-waktu bias muncul di tengah-tengah masyarakat. **B. KEDAULATAN PANGAN DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH** Sebagai Negara Agraris karena wilayah Indonesia yang terbentang sangat luas dengan mata pencarian dan penghidupan penduduknya sebagian besar adalah bertumpu pada bidang pertanian, dan keberhasilan hasil panen pertanian tergantung kepada kondisi iklim di Indonesia yang dikenal memiliki dua iklim yaitu, kemarau dan penghujan.Dengan kondisi iklim di Indonesia yang memiliki karakter panas sekitar enam bulan dan enam bulan musin penghujan sangat mempengaruhi musim tanam bagi para petani di Indonesia. Kondisi tersebut seringkali mengakibatkan terjadi krisis pangan di sebagian besar belahan tanah air. krisis pangan, krisis pangan di Indonesia pernah terjadi pada tahun 2007-2008. Krisis pangan tersebut melahirkan suatu pemahaman kebanyakan orang di banyak kalangan masyarakat manca Negara bahwa “**agriculture should be the main agenda in economic development**”. Sebagai usaha dalam rangka pembangunan pertumbuhan ekonomi, dunia pertanian wajib menjadi rencana besar yang harus di implementasikan, karena bertalian erat dengan sikap pemerintah dalam rangka mewujudkan pemenuhan ketahanan pangan nasional. Pencapaian kebutuhan pangan secara nasional terus mengalami peningkatan karena adanya pertumbuhan konsumsi pangan dan pertambahan penduduk, saat ini sudah mencapai 250 juta jiwa. Kondisi masyarakat Indonesia sampai dengan detik ini, beras merupakan konsumsi yang mendominasi strata strategis dalam proses pengembangan dunia pertanian, karena beras telah menjadi komoditas politik dan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Masyarakat telah menjadikan beras sebagai makanan pokok, sehingga beras menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan juga ketahanan pangan nasional. Indikator makro sektor pertanian Indonesia berdasarkan data statistik menunjukkan gambaran yang cukup baik. Dalam hal mana, produksi padi menurut Angka pridiksi perkiraan akan mencapai 68,061 juta ton. Dan target produksi padi sebesar 70,6 juta ton pada tahun 2011 rasanya ini akan sulit dicapai walau sudah mengalami kenaikan sekitar 2,4 persen dibandingkan produksi tahun 2010. Namun sayangnya, gambaran makro sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan kondisi ketahanan pangan yang semakin baik. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari kecenderungan kenaikan harga pangan pokok dan volume impor pangan yang tidak lagi sekedar impor daging, gandum dan kedelai tetapi juga meliputi impor komoditi pangan ikan, beras dan garam yang sebelumnya dianggap cukup melimpah di dalam negeri seperti. Oleh karena itu, banyak kalangan yang menyatakan bahwa indikator makro tidak lagi mencerminkan gambaran riil kemampuan Indonesia dalam menyediakan kecukupan pangan yang berasal dari potensi pangan dalam negeri. Terlebih lagi, pada saat perubahan 1*) Makalah yang disampaikan pada Kongres KIPNAS, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tanggal 7-9 November 2001 di Hotel Bidakara, Jakarta.2 Tim dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB –LIPI) dan Pusat Penelitian Ekonomi (P2ELIPI). Dalam kerangka Kedaulatan dan Ketahanan Pangan dalam perspektif Otonomi Daerah atau desentralisasi, maka kalau kita meng artikan otonomi daerah yang diartikan dalam berbagai cara bergantung pada kepentingan-kepentingan dan perspektif dari masing-masing pengamat (Conyers1984 : 187, Smith 1985 : Smoke 2003 :8). Menurut Sarundajang (1998) otonomi atau autonomyyang berasal dari bahasa Yunani, auto yang bermakna sendiri dan nomous yang memiliki arti hukum atau peraturan. Dalam hubungan antara Otonomi Daerah dengan kedaulatan dan Ketahanan Pangan, maka kebijakan untuk mewujudkan kedaulatan pangan dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ketersedian, kualitas dan fungsi pangan. Jika dilihat dari ketersediannya harus dalam posisi surplus adealnya sehingga akan memenuhi tingkat perminataan dan daya beli yang terjangkau. Dari aspek kualitas, pangan dapat memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan dan dari sisi fungsi , maka pangan harus memiliki multi fungsi, sosial ekonomi, budaya dan kesehatan. Inilah yang dimaksud otnomi daerah dibidang kedaulatan dan ketahanan pangan. Menurut Edi Santoso dari Kemenko Kesra dalam seminar Nasional 2013. Kedaulatan Pangan, Kontek antara Otonomi Daerah dengan Kedaulatan dan Ketahanan Pangan menurut beliau adalah harus adanya : **Ketersedian Pangan.** Jika pangan mengalami keterbatasan ketersediaan, maka akibat yang ditimbulkan adalah kenaikan hargadan terbatasnya jumlah konsumsi untuk itu peran dan upaya pemerintah untuk selalu dan terus menciptakan surplus produsen menjadi kepastian dari kebijakan, jika tidak terjadi instabilitas harga dan mempengaruhi harga-harga komoditas lain. Langkah spekulasi saat terjadi kekurangan pangan adalah melakukan tambahan kuantitas melalui import. Jika import lebih murah dan ketersedian devisa kita memungkinkan, maka impor menjadi mendesak untuk dilakukan, apalagi jika didukung oleh factor non teknis yang menyebabkan produksi menurun akibat bencana atau serangan hama. Peran Pemimpin Daerah, dalam hal ini adalah Gubernur, Bupati maupun Walikota berperan sangat signifikan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, hal ini tidaklah mudah karena hal ini menyentuh berbagai kepentingan proses produks **Pangan dilihat dari Sisi Kualitas.** Pada strata kontek hal ini, pangan berkaitan erat dengan daya saing jika dihadapkan dengan masalah pasar. Pasar selalu menginginkan ketersedian pangan dan kualitasnya. Untuk itu pangan dengan kualitas yang baik selalu identik dengan membaiknya nilai tambah yang diterima produsen dan member manfaat tinggi terhadap konsumen. Untuk itu kualitas pangan menjadi hal yang sangat penting setelah ketersedian yang memenuhi permintaan. Pangan yang berkualitas akan mampu meningkatkan devisa Negara, kemudian devisa menjadi factor untuk insentif terhadap proses produksi untuk meningkatkan produksi kembali. Disinilah peran penting dan intervensi pemerintah daerah dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas produksi, harga dan pasar. **Pangan dilihat dari Fungsinya.** Pangan memberikan makna bahwa pangan adalah identitas kekuasaan yang melekat pada kebijakan yang digulirkan. Kepemimpinan yang mampu menjaga dan meningkatkan produksi dan kualitas pangan secara tidak langsungidentik dengan perlindungan dan pelayanannya terhadap rakyat. Jika pangan mengalami masalah terbatasnya konsumsi, juga akan mempengaruhi kondisi sosial dan melalui mekanisme harga yang tinggi, dan yang lebih ekstrim adalah jika pangan langka atau sulit diakses di pasar, maka pangan merambah instabilitas dan krisis politik serta kepemimpinan. Oleh sebab itu bicara soal pangan bukan hanya terkait soal teknis dan jumlah supplynya tapi juga menyangkut eksistensi suatu bangsa dan kepemimpinan ekonomi terhadap konsumen dapat dilihat dari sisi, yaitu ketersedian, kualitas dan fungsi pangan. bias diartikan iklim, akan berakibat pada kekeringan dan kegagalan panen di sebagian besar wilayah lumbung pangan nasional, kondisi ini akan menjadi ancaman atas produksi pangan. Kita harus memiliki sikap kritis dalam memahami penyajian data statistik karena berimplikasi terhadap persoalan paradox di sektor pertanian Indonesia. Anggaplah perhitungan produktivitas telah cukup akurat jika dilakukan dengan melakukan pendataan langsung di beberapa lokasi panen. Persoalan yang kemudian muncul adalah, bahwa sejak tahun 2008 BPS tidak pernah lagi memunculkan data luasan lahan sawah. Walaupun, data tentang luasan lahan panen tersaji dan selalu menunjukkan perluasan lahan panen yang cukup signifikan. Misalnya, dari luasan lahan panen 12,347 juta ha pada tahun 2008 menjadi 13,566 juta ha di tahun 2011. Paradoxal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan dari sebagian kalangan yang menyakini bahwa tingkat konversi lahan pertanian terjadi secara massive di wilayah lumbung pangan di Jawa, akibat desakan permintaan lahan untuk permukiman dan kawasan Industri. Kementerian pertanian memang telah menargetkan tambahan lahan sawah baru sebesar 100.000 ha per tahunnya Terlepas dari data mana yang lebih layak dipercaya, formulasi perhitungan produksi dari hasil estimasi tingkat produktivitas, luasan lahan produktif dan luasan panen jika diagregasi secara makro dapat menimbulkan bias data yang semakin besar. Untuk mengetahui kemampuan produksi dalam menopang kebutuhan pangan masyarakat, harus dilihat dari data peningkatan produksi padi dibandingkan dengan data konsumsi pangan. Namun, persoalan lagi-lagi muncul dalam proses pendataan konsumsi pangan. Paparan data menunjukkan, terjadi peningkatan produksi namun tidak diikuti dengan peningkatan konsumsi pada level yang sama, maka seharusnya ada selisih data berupa supplydan demand yang besar dalam konteks penyediaan stok pangan ataupun surplus pangan. Tetapi terjadi inkonsistensi dari data yang ditampilkan, karena peningkatan produksi lebih tinggi dari peningkatan konsumsi, sementara surplus stok pangan relative tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari stabilitas harga dan komposisi impor pangannya. Dari pembacaan data yang inkonsisten tersebut, kesan yang muncul adalah adanya situasi dimana “mau tidak mau” konsumsi pangan juga harus naik agar menjaga keseimbangan data stok pangan. Hal ini terbukti dari adanya data konsumsi beras yang sempat dihitung mencapai 139 kg per kapita, atau berarti terdapat kebutuhan 32,943 juta ton beras bagi sekitar 237 juta penduduk Indonesia. Kebutuhan ini sebetulnya dapat tercukupi oleh konversi 68,061 juta ton padi atau sebanyak 40,837 juta ton beras (60 persen dari produksi padi). Berarti, stok pangan masih dalam kondisi surplus sebanyak 7,894 juta ton beras. Namun kemudian, data konsumsi ini mengalami proses penghitungan ulang sehingga diperkirakan konsumsi pangan beras menurun menjadi 113 kg per kapita (Kompas, 14/10/2011). **C. STRATEGI TERWUJUDNYA KEDAULATAN DAN KETAHANAN PANGAN** Menurut Edi Santoso dari Kementerian Kordinator Kesejahteraan Rakyat pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan di Universitas Diponegoro Semarang, 12 Desember 2013. Bahwa menurut Kepala perwakilan FAO di Indonesia, Mustafa Imir menyambut baik masuknya ketahanan pangan menjadi daftar kebijakan RI. Menurutnya Indonesia telah melakukan upaya pemberantasan kelaparan, ketidaktahanan pangan dan gizi buruk Indonesia telah mencapai butir pertama tujuan pembangunan millenium yaitu mengurangi jumlah penduduk kelaparan setengahnya sebelum tahun 2015. Namun semuaupaya ini belum cukup mampu untuk mempertahankan ketahanan pangan, kelaparan, dan gizi buruk di Indonesia. Ternyata kekerdilan pada anak-anak, besarnya jumlah absolute penduduk kelaparan, meningkatnya jumlah penduduk yang kelebihan berat badan di hamper semua umur bahkan obsesitas juga menjadi masalah serius yang harus juga ditangani secarat cepat dan tepat. Dengan sistempangan berkelanjutan, diservikasi sumber daya pangan lokal di Kabupaten dan Kota di seluruh Provinsi di Indonesia adalah merupakan kunci tercapai atau terwujudnya ketahanan pangan dan qizi yang tinggi, seimbang di tingkat Nasional maupun regional. Menurut dat BPS tahun 2012, lebih dari 70 persen produk pangan dasar di Indonesia dihasilkan oleh para petani kecil yang menggunakan sumber daya local dengan segala keterbatasan teknogi pertanian. Jadi kalau melihat kondisi dan data seperti tersebut diatas, maka system pangan berkelanjutan juga dan ketahanan pangan dibangun melalui dan bergantung kepada petani kecil yang ada di perdesaan dalam hal produksi. Ketidakberdaulatan, dan ketidaktahanan pangan dan gizi buruk merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dan seluruh daerah-daerah otonomi, dengan seiring dengan semakin buruknya sumberdaya tanah, air, iklim yang ekstrim, musnahnya keaneragaman sumberhayati, dan sumber-sumber penting lainnya yang menyokong terwujudnya Kedaulatan dan Ketahanan Pangan. Sejalan dengan Visi dan Misi ketika debat calon gubernur Jawa Tengah antara Bibit Waluyo dan Ganjar Pranowo, ketika itu Calon Gubernur Ganjar Pranowo mengungkapkan bahwa Jawa Tengah tidak hanya mampu mewujudkan ketahanan atau kemandirian pangan, namun lebih daripada itu, Jawa Tengah harus mampu mewujudkan kedaulatan Pangan, maka sudah tepat, ketika setelah beliau menjadi gubernur Provinsi Jawa Tengah dengan kondisi lahan pertanian yang semakin tergerus oleh kepentingan pengembang property itu, memperioritaskan pembangunan inprastruktur di seluruh pelosok perdesaan sebagai antisipasi awal dan sebagai landasan lancarnya arus transportasi antar perdesaan di seluruh wilayah Jawa Tengah. Dengan terwujudnya pembangunan inprastruktur, maka untuk menciptakan kedaulatan dan ketahanan pangan dapat dilakukan melalui arus teknologi, pengembangan lahan pertanian baru, aruspupuk yang cukup, meningkatkan kualitas sumber daya para petani padi, jagung, kedelai, ternak, dan berbagai macam pertanian holtikultura yang lain. Melalui peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluhan oleh petugas pertanian Kabupaten dan Kota maupun Dinas Pertanian Provinsi, semuanya dapat terakses sampai ke pelosok desa-desa di Jawa Tengah dangan inprastrutur transportasi yang baik dan lancar. Politik kedaulatan pangan seharusnya sudah tidak dapat undur-undur lagi oleh seluruh pimpinan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia, hal tersebut seharusnya sudah menjadi suatu komitmen dan integritas bagi setiap kepala daerah, karena mereka adalah sebagai aktor kebijakan dan aktor politik mampu merancang program strategis yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berbasis kedaulatan dan kemandirian pangan. Dari perspektif kekuatan otonomi daerah, maka secara ekonomi politik terang benderang bahwa kedaulatan dan ketahananpangan hak untuk menentukan kebijakan secara strategis ditentukan oleh daerah masing-masing, sehingga hak pangan bagi rakyat, masyarakat, dapat menentukannya sesuai dengan potensi sumber daya daerah provinsi, Kabupaten, dan kota masing-masing. Sejatinya kita sebagai bangsa Indonesia harus bangga, dan dapat sesegera mungkin untuk menciptakan Kedaulatan dan Ketahanan Pangan, karena wilayah Indonesia sungguh amat kaya dengan segala sumber daya alam yang dibutuhkan oleh Negara-negara di dunia dimiliki semuanya oleh bangsa ini. Namun sejauhna pula rakyat Indonesia memiliki keteguhan, komitmen terhadap kecintaan kita kepada tanah air yang dapat diwujudkan dengan, memberli semua kebutuhan pangan dasar kita dari para petani kecil, membeli hasil produksi dalam negeri, baik dari sisi tekstil, membeli obyek wisata dalam negeri kita sendiri tanpa harus menghambur-menghamburkan uang keluar negeri untuk memperkuat devisa Negara lain Negara lain. Namun kita juga harus sadar bahwa untuk mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan juga banyak tantangan dan hambatannya. Untuk itu sebagai sejarah bagi bangsa Indonesia ketika tanggal 20 Oktober 2014 dengan dilantiknya suksesi kepemimpinan Nasional presiden dan wakil presiden terpilih akan membawa nasib bangsa Indonesia, apakah kedaulatan, dan ketahan pangan akan terwujud dengan keberpihakan pemimpin yang baru tersebut kepada rakyat, atau para petani kecil kita, atau sebaliknya lebih dimaikan dan berpihak kepentingan Negara maju. Karena kita kekurangan financial (bugeting)sebagai anggaran yang merupakan momok yang tidak pernah berhenti, sebagai masalah klasik yang dihadapi bangsa ini. **D. KESIMPULAN :** 1. Dalam Usaha mewujudkan Kedualatan dan Ketahanan Pangan yang mandiri dalam rangka meningkat kesejahteraan rakyat, maka seluruh kebijakan politik pertanian Pemerintah Pusat, dan bagi seluruh Kepala Daerah, Provinsi, Kabupaten dan Kota harus memiliki visi, dan misi yang sama. Sehingga tidak ada lagi daerah-daerah pertanian produktif dikonversikan dengan kepentingan-kepentingan pengembang property, investasi, dan industri. 2. Diharapkan semua kebijakan politik pertanian di Indonesia harus berpihak kepada kepentingan rakyat Indonesia, tidak mendualisme kepentingan. 3. Para Gubernur, Bupati, dan Walikota hendaknya segera menbentuk tim kebijakan politik pertanian, dengan mengarah kepada perluasan pertanian, melalui pemanfaatan lahan-lahan non produktif milik Negara menjadi lahan pertanian yang produktif. Diharapkan setiap daerah otonom dapat membangun dan mengarahkan kepada seluruh kekuatan petani untuk setiap darah memiliki dan membangun lumbung-lumbung pangan atau pertanian di seluruh pelosok-pelosok desa. 4. Menciptakan regulasi melalui regulator yang tepat, benar terhadap sasaran menciptakan kedaulatan dan ketahanan pangan, serta dapat menerapkan kemampuan petani dengan teknologi pertanian yang tinggi, membangun agro industri yang berlandaskan kepada ekonomi kerakyatan di setiap perdesaan. **DAFTAR PUSTAKA :** 1. Makalah Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PMB LIPI, dan Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (P2E LIPI); 2. Retrospeksi Politik Kebijakan kedaulatan Pangan, Santosa Edi 3. Arah Baru Otonomi Daerah, Prof. Dr. M.. Ryaas Rasyid 4. Yusuf, 2010 Politik Kedaulatan Pangan, Institut Pertanian Bogor. Sumber dari Badan Diklat Provinsi Jateng